Sabtu, 18 Juni 2011

Ketika Laili Bertemu Rabitah

Malam kian bertahta. Belaian angin semakin menyeruak ke tulang-tulang yang lengang. Sumber Telaga, desa mungil di ujung selatan Jawa Timur ini menjadi saksi bisu akan kehidupan gadis muda berparas ayu, Laili Pertiwi. Di puncak malam itu, Laili merenung dalam balutan mukana putihnya. Air matanya tak henti menetes dalam syukur panjangnya. Ya, baru saja dia diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kebidanan di universitas ternama di Surabaya. Laili tinggal bersama kak Andin, kakak kandungnya dan kak Indra, kakak iparnya dalam rumah yang cukup sederhana. Orang tua Laili telah lama menjadi TKW di Hongkong, bahkan Laili sendiri tak ingat wajah kedua orang tuanya bila tidak dibantu dengan foto hitam putih usang yang bertengger gambar diri dan keluarga kecilnya. Lima belas tahun sudah pelukan hangat dan cinta kasih orang tuanya tak direngkuh Laili secara nyata.
Siang tadi, Laili baru saja mendapat izin dari kakaknya untuk mengenakan jilbab. Ya, keluarga Laili memang masih terbilang dangkal dalam penerapan pendidikan agama Islam. Tak hanya di keluarganya, di desa tercintanya sendiri pun perkembangan islam masih terbilang sangat standar. Masjid masih sedikit, letak pesantren jauh, bahkan jilbab masih dianggap aneh oleh warga. Sedangan Laili sendiri tergerak hatinya untuk berjilbab karena pengaruh baik dari sahabat SMA-nya di kota, Anisa Azahra. Dia adalah anak dari seorang kyai di pesantren At-taqwa yang tak pernah lelah berbagi ilmu agama pada Laili. Laili sangat bersyukur pernah dipertemukan dengan Anisa.
“Terimakasih Ya Allah, hidup ini terasa labih bermakna setelah hamba putuskan untuk berjilbab”. Seketika air matanya meleleh menyesali keterlambatannya dalam berjilbab. “Baru di usia delapan belas tahun ini hamba balut tubuh ini secara utuh. Ya Rasulullah, diri ini bukanlah umat yang berbakti. Ampuni hamba Ya Rab...”. Isaknya semakin menjadi di antara syukur akan keberhasilannya diterima sebagai mahasiswa. Penyesalan dan penyesalan yang kini ia rasakan. Dari kejadian ini Laili bertekat akan menjadi muslim yang baik. Ia tak rela menyesal lagi di kemudian hari. “ Keterlambatan ini akan saya bayar dengan tekad untuk berjuang di jalan-Mu Ya Rab. Ridhoi dan mudahkan jalan hamba. Amin.” Harapnya di penghujung doa”.
***
Di awal kuliah, begitu banyak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang disuguhkan kepada Maba (Mahasiswa Baru). Spontan Laili memilih SKI (Kerohanian Islam) sebagai tujuan utamanya. Minggu demi minggu ia lalui kegiatan perkuliahan dan UKM dengan ketertarikan yang amat mendalam. Begitu banyak ilmu baru yang ia peroleh sebagai penghilang kehausannya. Teman-teman Laili di SKI semakin membuatnya menggebu dalam belajar agama dan memperbaiki diri. Ia mulai memanjangkan jilbabnya, menambah amalan rukiyah, dan aktif di berbagai organisasi di kampus dan universitasnya.
Suatu hari Laili pulang ke kampung halamannya dengan beribu senyum tersungging di bibirnya. Sudah satu tahun ini ia tidak bercengkerama dengan lembutnya angin di Sumber Telaga. Sesampainya di rumah dan setelah mengucap salam, Laili langsung menuju ke dapur dengan tujuan memberi kejutan akan kedatangannya pada Kak Andin yang kedengarannyasedang sibuk di dapur. Dengan tak sabar ia pun memeluk kakaknya dari belakang. “Kakak, Laili pulang”, bisiknya ke telinga kak Andin. Seketika kakAndin menoleh. Ditemuinya Laili yang dengan senyumnya yang mengembang menatapnya. “Apa-apaan ini?” teriak kak Nadin pada Laili. “ Ya bukan apa-apa Kak, Laili hanya ingin memberi kejutan saja. Hehe..”, jawab Laili sambil tersenyum puas. “Bukan itu yang Kakak maksud. Tapi dandanan kamu ini, mengapa jadi ekstrim begini? Sejak kapan kamu jadi manusia gurun pasir begini? Jawab Kakak”. Bertubi-tubi perytanyaan dan ocehan keluar begitu saja dari bibir kak Andin. Laili hanya bisa tertunduk. “ Tapi Kak, pakaian seperti inilah yang seharusnya dipakai seorang muslimah. Laili yakin dengan keputusan ini”, jawabnya seraya mengiba. “ Berani-beraninya khotbah pada Kakak. Kamu ini keterlaluan ya. Kuliah itu mahal, jadi nggak usah ikut-ikutan aliran aneh kayak gitu. Kakak izinkan kamu pakai jilbab, tapi bukan seperti ini jadi. Kamu nanti akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Ngerti tidak?”.
Tiba-tiba kak Indra datang dari dalam rumah. “ Ada apa ini, kok ribut-ribut? Biarkan laili istirahat dulu, kan ia baru saja datang. Lagian sudah lama ia tidak pulang. Laili, ganti baju dan makan bareng dulu ya”, pinta kak Indra pada Laili. Karena sudah terlanjur kena marah Laili pun memberanikan diri menyampaikan keinginannya. “ Kak Andin, izinkan Laili berjilbab di rumah juga ya?” harap Laili. Pertanyaan itu spontan menambah panas kuping kak Andin. “Apa kamu bilang? Sekali lagi membahas masalah itu tidak saya izinkan kuliah lagi kamu nanti. Buat apa kuliah jauh-jauh kalau ujung-ujungnya jadi manusia gurun yang nggak jelas tujuannya.
***
Di malam yang menyejukkan itu, Laili kembali berdialog dengan Tuhannya. Ya, itulah kebiasaannya sejak ia mengetahui keutamaan sholat malam dari sahabat lamanya, Anisa. Seperti namanya, Laili, berasal dari kata Lail (malam), yang entah orang tuanya memahami artinya atau tidak saat memberikan nama itu padanya, ia pun sangat rajin sholat malam. Mengadulah ia pada Dzat yang menggenggam tiap hati manusia, “Ya Rabb, inikah rasanya perjuangan membela din-Mu? Sungguh Ya Allah, hamba merasa kecil. Di kampus dengan lantangnya hamba gembar-gemborkan islam dalam dakwah di jalan Mu. Semua terasa mudah dan menyenangkan. Namun, orang terdekat dengan hamba sekalipun, tak begitu memahami akan islam. Ya rabb, hanya Engkaulah yang mampu membolak-balikkan hati manusia, maka berikanlah nur-Mu pada keluarga dan orang-orang di kampung hamba. Amin”. Tangis Laili semakin menjadi setelah menyadari kondisi yang menyayat hatinya ini.
***
Sekembalinya Laili di kampus tercintanya, ia tidak terlihat semangat dan seceria dulu. Otaknya terus disesaki dengan kondisi keluarganya, orang tuanya, kampungnya, dan dirinya sendiri. Mungkinkah Allah akan memaafkannya bila ia tidak bisa membuat keluarganya sendiri sadar. “Apa gunanya aku berdakwah ke sana-ke mari bila keluargaku sendiri belum aku yakinkan untuk lebih memahami dan melaksanakan syariat islam?” keluhnya pada dirinya sendiri.
Bela, teman Laili dalam perjuangan dakwah di SKI, tak sampai hati melihat sikap murung Laili yang mendadak itu. “Laili, wajah anti dikerumuni semak berduri. Ada apakah gerangan? Lama pula tak ku jumpai anti dalam perkumpulan insan-insan penegak Islam. Tidakkah anti bergairah lagi dalam dakwa?” ucap Bela yang memang suka berkata puitis. Senyum Laili pun akhirnya mengembang mendengar ucapan sahabatnya itu. “Begitu lebih cantik. Air mukamu bak lentera di tengah gua kelelawar”. Ucapnya sambil terkekeh. “Memangnya aku Batman”, jawab Laili sekenanya. Lailipun akhirnya bersedia menceritakan segala keluh kesahnya pada sahabat lucunya itu. “Tepat sekali waktunya, ayo nanti sore ikut aku ke masjid Jami’ di utara kampus untuk mengikuti kajian tentang jalan dakwah. Ustadnya masih muda lho, baru lulus kuliah, humoris pula. Pasti ada manfaatnya dari pada melamun tak jelas gini”, desak Bela.
***
Sore itu mereka duduk di barisan paling depan di banjar akhwat. Laili bisa melihat sosok ustad Aziz dengan mudah, tapi tentunya ia tetap menjaga pandangannya. Pembawaan ustad itu begitu tenang dan menghibur. Jamaah yang kebanyakan para mahasiswa semakin semangat di buatnya. “ Ya, doa robithah.. Bacalah dengan penghayatan mendalam dalam perjuangan dakwah antum sekalian”. Ucapnya dengan penuh semangat. “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui hati-hati ini berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah jumpa dalam taat pad-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Teguhkanlah ya Allah, ikatannya. Kekalkanlah cinta kasihnya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati hati tersebut dalam cahaya-Mu yang tak pernah hilang. Lapangkanlah dada-dada kami dengan kelimpahan iman kepada-Mu dan indahnya bertawakal kepada-Mu. Hidupkanlah hati ini dalam ma’rifat kepada-Mu. Matikanlah ia dalam syahid di jalan-Mu. Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”. Pembacaan arti doa robithah itu begitu menyejukkan jamaah, begitu pun Laili. Air mata Laili mengalir tanpa perintah dan isaknya di tahan sebisanya. Kini ia sadar bahwa jalan dakwah memang tidak semulus yang ia bayangkan. “ Tapi ingat, jangan pernah menanggalkan senyuman antum dalam berdakwah:, tambah ustad Aziz di penghujung kajiannya. Semangat Laili bagai di sulut api, melejit tak karuan. Senyumnya mengembang di tengah sengatan udara di Surabaya. Bela pun merasa puas dengan upayanya yang melebihi sukses itu.
***
Selesai kajian Laili dan Bela tidak langsung pulang. Mereka masih berdiskusi tentang dakwah-dakwah yang akan mereka lakukan bersama teman-teman di SKI mereka. Setengah jam kemudian mereka memutuskan untuk pulang. Di luar masjid Laili melihat ustad Aziz bersama beberapa mahasiswa sedang duduk-duduk santai. Tiba-tiba Laili berlari menghampiri ustad Aziz dan Bela merasa bingung di buatnya. Ia pun hanya membuntuti temannya itu. “Assalamualaikum ustad”, salam Laili mengawali percakapannya. “Waalaikumsalam, ada yang bisa saya bantu Ukhti?” jawab ustad Aziz. “ Tidak ustad, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih kepada ustad karena apa yang ustad sampaikan tadi telah membuat saya sadar akan pentingnya dakwah. Oh ya, boleh saya kasih sesuatu buat Ustad?”, ucap Laili. “Heem”. Laili seketika mengobrak-abrik tasnya danmencari sesuatu untuk dikasihkan kepada sesuatu. Karena tak menemukan apa-apa, akal purbanya mulai menguasai. “ Maaf Ustad, saya hanya ingin memberi senyuman buat ustad. Hee”. Iapun sangat malu dengan apa yang baru saja ia lakukan, terlebih lagi Bela yang sedari tadi berdiri di belakang Laili”. Merekapun izin pamit dan disusul banyak senyuman dari banyak mahasiswa di sekeliling ustad Aziz. Ya, itulah efek samping dari semangat yang melampaui batas.
***
Kini Laili benar-benar bersemangat dalam jalan dakwah yang dipilihnya. Ia yakin Allah punya rancana terindah di kemudian hari. Dalam setiap doanya tak pernah ia lupakan untuk membaca doa Rabithah yang ia yakini dapat memperbaiki kondisi ketaqwaan keluarga dan orang-orang yang dicintainya kelak. Kini ia telah lulus menjadi seorang bidan dan pengabdiannya ia berikan sepenuhnya untuk masyarakat di kampungnya. Dalam bekerja tak pernah sekalipun ia lupakan untuk berdakwah meskipun sepatah dua patah kata. Kata-katanya yang syarat dengan makna dan dengan kelembutan telah sedikit demi sedikit mengubah pandangan hidup masyarakat akan islam. Banyak orang kagum pada Laili, dan tak jarang menyampaikan kekaguman itu pada kak Andin.
Sedikit-demi sedikit hati kak Andin tergugah dan ia bisa menerima Laili apa adanya, tentunya iapun berubah pula menjadi orang yang lebih baik dan lebih bertaqwa. Laili sangat senang dengan perubahan ini. Orang tua Laili yang sudah semakin tua telah kembali kedekapannya. Usahanya tak sia-sia dalam memadukan kekuatan sholat malam dan doa Rabithah.
Iapun akhirnya menemukan jodohnya dalam pertemuan tak disengaja saat ada pengajian di desanya. Saat ia menjadi MC di acara tersebut. Dan ternyata Ustad Aziz yang ia kenal di Masjid Jami’ itu adalah kakak Anisa yang merupakan generasi penerus dari pesantren At-Taqwa. Saat itu ia mendapat tugas untuk berdakwah di Surabaya selama satu bulan. Kini ustad muda itulah yang akhirnya menjadi pemimpin bagi kehidupan Laili dan anak-anaknya kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar