Selasa, 10 November 2015

MY GREATEST TRIP

Tak pernah sebelumnya kubayangkan Allah Yang Maha Baik memberiku kesempatan melakukan perjalanan ke luar negeri. Ya, maksudku dalam masa perkuliahan. Bermula dari saran seseorang padaku agar merencanakan perjalanan ke luar negeri saat duduk di bangku perkuliahan. “Ya, aku sepakat,” pikirku. Ku tuliskanlah hal itu dalam life plan kecilku. Tahun 2013, seorang teman mengajakku daftar mengikuti summit di Filipina. Dia mengajak satu orang lagi sebagai tim kami. Akhirnya terbentuklah tim kami yang terdiri dari tiga orang, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Ternyata ada satu orang temen laki-laki lagi yang sudah lebih dahulu mendaftar secara individu. Total kamipun ada 4 orang dari universitas tempatku kuliah.

 Awalnya timku merasa ragu, kami merasa tidak mungkin jadi berangkat karena pelaksanaan yang terlalu mepet, sedangkan dana belum mencukupi. Cukup kecewa awalnya, namun aku tak merasa berkecil hati, bagiku Allah pasti tahu apa-apa yang terbaik untuk umat-Nya. Selang berapa lama ada kabar buruk yang terjadi di Filipina, angin yolanda telah meluluh lantahkan sebagian besar negeri itu, dan yupz tepat sekali, pelaksanaan summit-pun diundur tiga bulan berikutnya. Aku turut prihatin atas bencana dasyat itu. Dalam benakku, ku yakin pengunduran ini merupakan salah satu jalan Allah untuk memberiku kesempatkan untuk memenuhi satu mimpiku menempuh perjalanan ke luar negeri. Keraguanku semakin memudar. Namun, kendala dana masih menggelayut di depanku. Tidak sedikit dana yang ku butuhkan, hingga akhirnya temanku memberi kabar bahwa fakultasku memberikan bantuan dana cukup besar untuk kegiatan itu. Yupz singkat cerita kami berempatpun siap berangkat dengan mas’ul (ketua) perjalanan dipegang oleh salah satu teman laki-laki yang bukan merupakan timku.

 “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?” begitu tulis teman perempuanku di wall Facebook-nya. Begitu terharu aku mendengarnya. Seorang dengan berbagai kekurangan sepertiku mendapat rizki yang luar biasa seperti ini. Subhanallah walhamdulillah walailahailallah Huallahuakbar, lafadz itulah yang senantiasa mengiringi perjalananku.

 Aku merasa perjalanan ini begitu sangat dimudahkan-Nya. Saat ke bandarapun aku dan temen perempuanku dapat tumpangan dari teman yang jarak rumahnya sangat dekat dengan bandara. Sebelum ke bandara, kami mampir ke rumah beliau. Kami dijamu dengan sangat baik di sana dengan bekal petuah yang baik pula dari Ibunda beliau. Jam 8 malam kamipun meninggalkan rumah itu menuju bandara. Dua teman laki-laki kami sudah menanti kedatangan kami. Selanjutnya kamipun masuk ke bandara. Check-in ternyata sudah dapat dilakukan. Bandara terlihat cukup lengang. Tas koperpun ditimbang dan diberi tanda untuk masuk bagasi. Snack-ku ada di dalam koper saat itu. Ternyata kami baru tahu bahwa koper hanya dapat diambil setibanya kami di Filipina, padahal kami harus transit di Singapura dalam waktu yang cukup lama. Baiklah pemberangkatan akan dimulai tanpa snack. Namun, lagi-lagi Allah sangat baik padaku, ternyata aku menyimpan satu bungkus biskuit di tas ranselku yang aku bawa. Alhamdulillah.

 Pesawatpun berangkat sekitar pukul 10 malam. Saat baru duduk kami diminta menuliskan laporan imigrasi, serasa ujian pikirku. Penerapan ilmu bahasa inggris harus sudah dimulai. Perjalanan dari Surabaya ke Singapura membutuhkan waktu sekitar 2 jam, namun saat sampai di Singapura waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Setibanya di bandara kami melaporkan lembar imigrasi kepada petugas imigran di bandara Singapura. Sedikit pertanyaan, kami tidak menginap karena memang hanya transit. Akhirnya kami berempat lolos. Walaupun teman perempuanku sedikit terhambat karena dimintai tiket penerbangan, sedangkan saat itu tiket sedang aku pegang. Untungnya aku telah selesai laporan dan bisa segera menolongnya. Berikutnya kami hendak melaporkan Tiger Connect kami, semacam konfirmasi bagasi. Namun ternyata konfirmasi dilakukan sebelum check-in menuju Filipina. Kamipun mencari tempat istirahat di dalam bandara. Sekitar satu jam duduk, di sofa bandara, kami diusir petugas karena bandara harus ditutup pukul 2 pagi. Kami keluar dari bandara utama dan mencari tempat duduk untuk istirahat plus tidur. Sejenak kami tertidur dengan posisi yang lumayan memprihatinkan. Leher belakangku terasa sakit, belum lagi dinginnya AC menjajah tulang belulang. Pukul 4 pagi kami terbangun dan menggerak-gerakkan tubuh. Dingin sekali. Aku tak suka dingin. Berikutnya kami menunggu waktu subuh sambil berjalan-jalan di bandara. Ternyata solat subuh di Singapura dimulai sekitar pukul 6 pagi.

 Kami tak menemukan tempat solat di sana. Ketua perjalanan bilang biasanya ada Multireligion Place di tempat umum seperti bandara, semacam tempat ibadah gabungan berbagai agama. Lucu kedengarannya, bayanganku, pasti umat islamlah yang membutuhkan banyak ruang untuk melakukan ibadah. Hehe. Namun ternyata setelah kita tanyakan kepada petugas, tempat beribadah ada di dalam bandara utama dan kita tidak bisa masuk. Untungnya beliau menyarankan kami agar sholat di suatu tempat tertentu. Kamipun bersih diri dan mengambil wudhu di toilet. Inilah hal yang paling aku benci, toilet kering. Tidak ada air di dalam toilet, hanya tisu. Benar kata ketua perjalanan, sebaiknya kita membawa tisu basah. Aha, akupun akhirnya punya ide. Ku ambil tisu lumayan banyak dan ku basahi dengan air di wastafel luar toilet, jadi deh tisu basah darurat. Setelah bersih diri waktunya ambil wudhu. Kalau ini aku sudah biasa, wudhu di wastafel. Nggak apa basah sedikit penting hati tenang, pikirku saat membasuh kaki, sehingga air ngecembong di lantai. Ya iyalah, dari pada kakiku naik di atas wastafel, kan nggak lucu juga. Akhirnya selesai, upz aku belum cuci muka. Pasti risih banget kalau wajah terlihat kusam, tidak tersentuh sabun. Aku sedikit bingung karena alat mandiku ada di koper. Aha, di deket wastafel ternyata ada sabun tangan. Tak apalah membersihkan wajah pakai sabun ini, sesekali aja, yang penting wajah terlihat fresh lagi pikirku. Ya, mungkin saat itu ada beberapa orang asing melihat ulahku, namun EGP (Emang Gue Pikirin). Cling-cling, selesai sudah urusan di toilet asing ini. Akupun keluar menemui teman-temanku yang sudah kelihatan lama menantiku. Hehe, afwan kaum hawa agak rempong.

 Akhirnya kami temukan tempat sholat juga. Di pojokan lantai atas, tidak banyak orang yang lewat. Namun, di dekat kami ada dua orang wanita asing yang sedang tertidur pulas sambil berselimut. Kamipun sholat sunah subuh dan berjamaah solat subuh. Saat salam, kami dikagetkan dengan bnagunnya dua wanita tadi yang mungkin juga terkejut melihat kegiatan kami. Merekapun langsung membereskan barang dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Berikutnya kami hendak mencari makan, karena ternyata ketua perjalanan belum makan sejak malam. Ya, beberapa kali kami salah memilih tempat, dari yang harganya terlalu mahal sampai tidak jelas kehalalan makanannya. Akhirnya ada tempat yang cocok untuk kami tuju setelah mempelajari peta bandara yang disediakan di pojok-pojok bandara. Kamipun harus pergi ke terminal satu. Saat itu kami berada di terminal dua. Untuk ke tempat itu kami harus menggunakan skytrain. Saat hendak masuk dalam skytrain, kami berempat terpisah, ketua perjalanan mendahului kami, terpaksa kami harus menunggu skytrain berikutnya. Namun kami tak tahu apakah ini adalah skytrain yang kami butuhkan atau bukan karena dia berasal dari arah yang berlawanan, kamipun tidak jadi menaikinya, sehingga ia pergi meninggalkan kami. Kami mulai membaca berbagai petunjuk di sana, ya ternyata skytrain tadi memang yang kami butuhkan dan ternyata semua petunjuk ada di depan kami. Jadi kuncinya kami harus rajin membaca. Akhirnya skytrain ketiga datang dan kamipun naik. Kami telah kembali bergabung dan menuju lokasi sarapan. Beberapa langkah masuk ke terminal satu ini kami disuguhi indahnya tarian lampu, aku lupa namanya. Menurutku mereka seperti tetesan minyak dan membentuk gerakan indah seperti tarian yang diiringi suara musik klasik di dekatnya. Pagi itu kami tidak mengambil foto dan hanya melihat sambil lalu karena suara perut yang telah berteriak-teriak.

Sesampainya di tempat makan kami langsung memesan dan melahapnya. Tiba-tiba wanita berkerudung di dekatku menyapaku. Ternyata ia mahasiswa Indonesia dari salah satu universitas di Jogjakarta yang akan mengikuti suatu kegiatan di singapura. Saat itu aku mengenakan jaket fakultasku, aku rasa jaket inilah yang membuat kami menemukan kawan baru. Ya, kamipun berdiskusi sambil makan dan ia menceritakan lokasi-lokasi terbaik di Singapura karena ternyata ia telah beberapa kali di negeri singa ini. Saat itu makanan yang kammi makan hanya telur dan pan cake plus kopi panas yang sangat pahit. Aku tak kuasa meminum kopi terpahit yang pernah kucoba itu. Untungnya sang kawan baru menawariku air putih yang ia ambil dari pojok-pojok bandara. Ya, saat di bandara utama kita dilarang membawa air, jadi lebih baik bawa tumbler dan kemudian mengisinya saat sampai bandara. Good experience. Iapun menunjukkanku bahwa ternyata biasanya ada wet toilet di pojok deretan toilet. Jadi di sana ada air mengalir. Yee.

 Setelah makan kami melanjutkan perjalanan menuju toko buku di lantai satu bersama kawan baru. Ingin sekali punya salah satu buku dari deretan buku yang terpajang, namun sayang harganya cukup melangit. Sekitar 150.000 rupiah kalau dikurskan ke uang Indonesia. Baiklah tidak ada yang membeli barang di toko itu, kamipun segera beranjak dan hendak berkeliling ke terminal tiga yang masih baru terbangun.

the beauty of changi...


 ...belum berakhir...

Pertolongan yang Besar

Saat senja menyemburatkan selendang ayunya, di sinilah aku Menapak menjejal memutar waktu Tapak usia ini berada pada sepertiga tangga sudah Namun, kemana saja aku? Pekikku menyayat lamunan tak menentu Betapa aku tak beranjak pergi Mengulum cinta dan kemegahan surga di peraduan ini Ya, kebanggaan itu tampaknya bersemayam dalam Menghalangi kata kepergian Betapa tidak? Duh alam raya, tak kah kau iri pada tanah ini? Tempat aku menapaki kaki Segala asa kan menjadi pasti Saat tubuhmu hanyut mengikuti semilir frasenya Merapatlah, dekaplah sekelilingku Tarik penglihatan terbaikmu Di sana, Undukan tanah yang menjulang itu memiliki nafas Mengalirkan hembusan cinta tak terbayar Balok-balok batu yang membisu menjadi saksi akan rajutan rasa itu Benang kusut yang dulu mengoyak makna bahagia, Kini, menampakkan tatanan rapinya Martil dan palu itu kini telah setia menemani Membuat hati bersemangat menghabisi Pelan namun pasti bongkahan keras itu menjadi milik diri Itulah anugerah termanis dari para peminjam nafas Para seniman itupun teraliri energi syukur Memandang dan berpikir cemerlang Ayunan hati lembutnya mampu memukul dengan kerasnya Mengukir dengan sabarnya Dan mengakhiri dengan cantiknya Karya itu begitu penuh retorika Namun, berseterunya ia dalam kepergian bukan sebuah petaka Hati itu telah terlampau melangit dalam memberi makna Pada sisi berbeda, Birunya gelombang menjadi kamar berpetualang Menghidangkan pesona surga bertabur berlian Lumpuh hati dibuatnya Tertegun, terdiam, bak punuk merindukan bulan Di atas bentukan kayu yang melayang mereka tegap menantang Dengan senyum terkembang Para pecinta itu mulai beradu kemenangan Senjata di tangan segera mereka hamparkan Gemulai nian tarian jemari itu Membuat target sasaran menaruh harapan Menggulingkan tubuhnya di atas jaring perjuangan Oh… Sang pecintapun tertawa penuh kepuasan Nampaknya ratu keadilan menebar kebaikan Sang terbidik kini terkulai dalam kedustaan Saat mata berkelana mengikuti arus gelombang Terdengar pekik tawa Membawa raga ikut merasa kesegarannya Betapa tidak, Berlabuhnya gelombang ke tepian Menyisakan hempasan tajam berkepanjangan Diikuti luncuran makhluk tak bertuan Sang tubuh penuh kelembutan memikul rumahnya Berkecimpung pada lubang yang tergenang Terseok menghindari tangan para pemburu Tawa itu makin lantang menyergap telinga Saat kaki kecil itu mendapat amukan gelombang penghabisan Terasa geli katanya Namun, saat langkah mendekati binatang berlendir transparan, Teriaklah yang terlontar Melejit dan berlarian sambil bergidik menganggap gatal Dari tangan mungil itu terkembang senyum ayah bunda Tangan yang memanggul menawarkan air pelepas dahaga Camilan untuk mulut yang tergiur mengenyam Begitulah cara mereka, Meneriakkan kalimat kebebasan penuh kepuasan Saat sang malaikat dunia menghadirkan larangan Hati mereka memberontak Tak banyak yang mereka pinta Sejumput recehan untuk ayah bunda menjadi cermin terbaik bagi rupa Bara semangat para kapten belia itu begitu menyengat Mematahkan ribuan benteng penderitaan Tunduk tawaduk di dalam kesederhanaan Saat mentari mulai lelah menyinari, kaki-kaki itu kabur berhamburan Mengejar cinta dari-Nya di surau kecil penuh kemuliaan Mengeja bahasa surga Menata aksara tata krama Mengenal Sang Maha Arsitek Dunia Bagi mereka ketaatan beragama menjadi puncak kesuksesan Karenanya keleluasaan hati bak samudra kan tercipta Semakin belia diri mengenal-Nya Kearifan akan semesta makin menyala Mendidik sekitar akan makna kebersahajaan di tengah krisis kepercayaan Oh, semesta… Betapa tepat tauladan itu Tuhanku, muliakan hidup generasi terbaik bangsa ini Yang menjunjung tinggi arti berketuhanan Yang membidik nilai kepedulian Yang taat akan moral dan kelurusan niat dalam berbuat Berpindah kepada arti kata “cinta tanah air” Telah ku temui banyak tanda di tempat ku berdiri Bukankah “peduli” bermakna mengenal cerita lama? Napak tilas negeri ini Kan begitu mudah kau jumpai di sudut Jawa Timur ini Wahai, para sejarahwan sudah kau tengokkan mereka? Puluhan arca bertengger kokoh menanti kau pelajari Deretan puing-puing kebanggaan nenek moyang menunggui si pemerhati Mereka meringkuk dalam sepi Hanya para penikmat aksi spiritual yang sesekali menghampiri Relakah tiada kata ilmiah? Beranjaklah kemari Sekiranya, kau tahu mereka ada untuk dimengerti Semakin jauh kaki berayun Kudapati kota ini memendam bukti Wasiat titipan dunia itu tersimpan rapi dalam peti “Wajak Kensis” kata yang kerap bergulir dalam kitab-kitab sejarah Darinya menyeruak pemaknaan megah Jejak sang purba bertengger dipenantian Menggemparkan jagad kesejarahan Cinta ini telah erat menahanku Ya, di sinilah aku Tulungagung, kabupaten kecil berakronim luhur, Darinya teralir makna “Pertolongan yang Besar” Tertuang deras dari limpahan cinta-Nya yang tak terbayar